Translate
- Home »
- Edukasi , Kesehatan , Obat Generik Berlogo , OGB »
- OGB (Obat Generik Berlogo), Solusi Cermat untuk keluarga Hemat dan Sehat.
Windows 8 UI > Keren
Unknown
On Selasa, 21 Mei 2013
Penulis: Hidayat Hasim
Mahasiswa Semester akhir fakultas Farmasi Unhas
Obat di Negara Indonesia masih tergolong mahal di asia tenggara. Hal itu disebabkan karena Indonesia masih mengimpor bahan baku obat. Lebih dari 90% bahan baku obat merupakan hasil impor. Beberapa waktu lalu ketika saya mengikuti seminar kimia medisinal, pemateri dari ITB mengungkapkan bahwa masih susahnya produksi bahan baku obat dinegeri ini. Ketersediaan SDM dan SDA sangat kurang. Bahkan disebutkan memproduksi bahan baku obat di negeri sendiri biayanya jauh lebih mahal dibanding mengimpor dari luar negeri. Untuk itulah Impor bahan baku masih tetap dijalankan. Impor bahan baku obat berdampak pada kenaikan harga obat. Untuk itulah pemerintah sejak 1989 memperkenalkan Obat Generik pada Masyarakat.
OGB, atau dikenal dengan Obat Generik berlogo. Istilah ini tidak asing lagi untuk seseorang yang berkecimpung di dunia kesehatan. Tetapi bagi sebagian orang, mungkin OGB ini belum pernah terdengar. Padahal Pengetahuan tentang OGB sangat penting dalam masyarakat. Alhasil, dikutip dari wawancara Maura Linda Sitanggang, Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat kesehatan Kementrian kesehatan, penggunaan Obat generik baru mencapai 40% dari total penggunaan Nasional. Padahal untuk Negara maju penggunaan obat Generik mencapai 70-80 persen
Setahun yang lalu. Saat saya melaksanakan program kampus yang lansung terjun ke tengah masyarakat yakni Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah desa di daerah kecamatan Sulawesi selatan. saya memproritaskan program kerja saya pada sosialisasi OGB. Betapa tidak setelah survey selama 2 minggu untuk menentukan program kerja, tak ada satupun warga yang mengetahui apa Obat generik tersebut. Yang masyarakat ketahui adalah Obat puskesmas dan obat dokter. Obat puskesmas merupakan obat yang diberikan puskesmas secara gratis, hal ini tentunya merupakan obat generik yang murah. Sedangkan obat dokter adalah obat bermerek yang dibeli di rumah dokter. Karena tidak adanya apotek di daerah tersebut maka sangat susah mencari obat paten atau bermerek. Tetapi dokter menyediakan yang ingin membelinya. Untungnya dokter disana tidak mengharuskan membeli yang bermerek tetapi tetap memakai obat puskesmas. Obat bermerek tersebut hanyalah jika pasien menginginkan dan tidak ada generiknya. Adapula masyarakat yang apabila telah berobat di puskesmas tak kunjung sembuh, maka pasien akan memesan obat dokter (bermerek). Dari hal ini dapat disimpulkan masyarakat lebih meninggikan obat bermerek dari pada obat generik. Obat generik dianggap obat kelas bawah. Padahal, zat aktif yan terkandung persis sama dalam hal dosis, jenis dan kualitasnya.
Wajar jika warga desa tidak mengetahui obat generic. Tetapi bagaimana pengetahuan warga perkotaan tentang obat generik?? Saya menulis artikel ini dengan mencari rujukan di searching google. Setelah saya membaca artikel-artikel pada blog atau postingan bahkan banyak yang masih salah tentang OGB ini. Sebagian besar artikel menyamakan "PERSIS" OGB dan obat paten. Keduanya berbeda hanya pada harga dan kemasannya. Padahal Selain zat aktif yang sama pada OGB dan Obat paten, obat memiliki bahan tambahan dan formulasi yang berbeda. Formulasi dan Bahan tambahan ini dapat meningkatkan bioavailabilitas obat dalam tubuh. Kata sederhananya membantu zat aktif agar maksimal kerjanya dalam tubuh. Tetapi dalam hal kamanjuran dan efek obat generik dapat dikatakan sama dengan obat bermerek. Dari beberapa penelitian ditemukan malah terdapat obat generik lebih cepat kinerjanya dibandingkan obat bermerek. (dikutip dari FDA.gov)
Sebelum menjawab pertanyaan diatas ada baiknya kita mengetahui pembagian obat yang ada di Indonesia
Obat-obatan yang tersedia saat ini terbagi menjadi dua macam, yaitu obat paten dan obat generik.
- Obat paten merupakan obat yang masih memiliki paten yang diberikan pada zat kimia atau obat baru. Jadi sifatnya seperti hak cipta. Dengan kata lain, hanya industri farmasi yangmemproduksinya yang memiliki hak paten atas obat tersebut. Tanpa izin pemilik hak paten, obat ini tidak boleh ditiru, diproduksi dan dijual dengan nama generik oleh pabrik lain. Obat paten diproduksi melalui penelitian yang bertahap rumit dan panjang. Setelah melewati berbagai uji baik laboratorium, uji pada hewan percobaan maupun pada manusia dan terbukti lolos atau memiliki efek terapi yang baik dan efek samping yang minimal, obat ini di patenkan untuk kemudian dijual. Obat paten sangat mahal karena biaya penelitian yamg mencapai puluhan tahun yang menekan biaya sangat besar. Obat paten yang sudah di produksi dan dijual dalam waktu yang lama akhirnya mencapai masa diluar hak paten. Jika masa berlaku hak paten ini habis, maka obat paten dapat diproduksi oleh siapa saja dan biasanya disebut dengan obat generik (Putro, 2009). Menurut UU No. 14 Tahun 2001, masa berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun. Jika masa paten obat tersebut habis, maka obat tersebut berganti menjadi golongan obat generik. Obat generik memiliki harga yang lebih murah dibandingkan obat paten karena tidak adanya biaya penelitian yang dibebankan kepada harga jual sedangkan pada harga obat paten terdapat biaya penelitian dan promosi obat tersebut.
Sedangkan obat generic terbagi menjadi 2 lagi. Yakni obat generic berlogo (OGB) dan obat generic bermerek.
- Obat generic berlogo merupakan Adalah nama obat yang sama dengan zat aktif berkhasiat yang dikandungnya. Hal itu sesuai dengan nama resmi International Non Propietary Names yang telah di tetapkan dalam Farmakope Indonesia. Contohnya: Parasetamol, Antalgin, Asam Mefenamat, Amoksisilin, Cefadroxyl, Loratadine, Ketoconazole, Acyclovir, dan lain-lain. Obat-obat tersebut sama persis antara nama yang tertera di kemasan dengan kandungan zat aktifnya. (Obat jenis ini biasanya dibuat setelah masa hak paten dari suatu obat telah berakhir dan menggunakan nama dagang sesuai dengan nama asli zat kimia yang dikandungnya)
- Sedangkan obat generic bermerek Adalah obat generik tertentu yang diberi nama atau merek dagang sesuai kehendak produsen obat. Biasanya salah satu suku katanya mencerminkan nama produsennya. Contoh: natrium diklofenak (nama generik). Di pasaran memiliki berbagai nama merek dagang, misalnya: Voltaren, Voltadex, Klotaren, Voren, Divoltar, dan lain-lain. Banyak yang menyalah artikan obat generic bermerek ini. Ada yang menyebutkan termasuk obat paten padahal obat generic bermerek sama persis dengan obat generic berlogo hanya ditambahkan merek dagang. Untuk itu pun harga obat generic berlogo lebih murah dibandingkan obat generic bermerek.
Logo Pada kemasan obat generik |
Perbandingan harga yang jauh berbeda antara obat generik dan obat paten memberikan pelabelan negatif terhadap obat generik yang hanya dipandang sebelah mata karena hanya dianggap sebagai obat yang diperuntukkan hanya bagi masyarakat miskin yang tidak mampu membayar biaya pengobatan yang mahal. Penggunaan obat generik sama khasiat dan efek sampingnya dengan obat paten. Jadi jika dibandingkan dengan obat paten, kerugian penggunaan obat generik tentu saja tidak ada.
Edukasi yang benar mengenai efektifitas dan efisiensi yang diperoleh dari penggunaan obat generik perlu dikembangkan guna mewujudkan masyarakat yang cerdas memilih obat berdasarkan mutunya dan dengan harga yang terjangkau. Kegiatan edukasi ini perlu mendapat dukungan bukan hanya dari pihak kesehatan sebagai pemberi pelayanan kesehatan, tetapi perlu melibatkan lintas sektor yang lain agar dapat lebih dimasyarakatkan secara luas
Obat paten harganya bisa lebih mahal 5-30 kali lipat dari obat generic. Ilustrasi perbedaan harganya dapat dilihat dari tebel berikut ini. (ini hanya menjadi contoh, bukan mempromosikan merek tertentu)
Dari table diatas dapat disimpulkan harga generik dan yang paten sangatlah berbeda jauh bukan?? Nah jadi pertanyaan apakah perbedaan harga tersebut disebabkan karna khasiatnya yang sangat berbeda pula? Jawabannya tidak.
Harga OGB dengan Paten berbeda disebabkan oleh beberapa faktor:
- harga OGB sudah ditetapkan oleh pemerintah, sehingga sebisa mungkin dibuat terjangkau oleh semua masyarakat. Sesuai UU Nomor 36 tahun 2009, penetapan harga obat generik dikendalikan oleh pemerintah dan oleh karena itu tiap tahun diterbitkan ketetapan / peraturan Menteri Kesehatan terkait harga obat generik. Terakhir dilakukan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 094/Menkes/SK/II/2012 tentang Harga Obat untuk Pengadaan Pemerintah Tahun 2012 dan Nomor 092/Menkes/SK/II/2012 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik.). Tahun 2013 direncanakan penetapan harga melalui lelang harga satuan (e-catalog obat generik), agar pengadaan obat dapat mengikuti aturan sesuai Perpres 70 tahun 2012, dan dengan harapan pengadaan akan lebih mudah dan efisien dengan tetap menjamin ketersediaan obat. Pengadaan Obat melalui e-catalog merupakan kerjasama antara Kementerian Kesehatan dan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah)
- OGB ini sekali produksi langsung diproduksi dalam jumlah yang besar, sehingga skala produksinya efisien. OGB tidak memerlukan biaya paten. Biaya paten merupakan biaya yang diberikan kepada penemu zak kimia atau formulasi obat tersebut. Karena dalam menemukan formulasi obat sangatlah susah. Dengan jangka waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit. Olehkarna itu diberikan hak cipta kepada penemunya.
- kemasan OGB tidak terlalu mewah. Pengalaman jika diapotek, kemasan genrik dan obat bermerek memeng terlihat berbeda. Bukan karena ada logo generiknya tetapi kemasan obat paten lebih dibuat mewah. Umumnya terlihat banyak gambar dan tulisan bahkan efek pelangi. Tetapi satu hal yang perlu diingat adalah mewah atau tidaknya, besar atau kecilnya kemasan obat tidak mempengaruhi mutu suatu obat. Semua kemasan tersebut telah diawasi oleh pemerintah dan memenuhi standar yang ada.
- Biaya promosi OGB biasanya promosi massal dan merupakan iklan layanan pemerintah saja. Sedangkan Obat bermerek Iklan dan promosi lebih tinggi. Wajar saja hal ini terjadI karena biaya yang dikeluarkan oleh produsen obat sebesal lebih dari 50 % berasal dari biaya non produksi. Alokasi biaya yang paling besar adalah biaya promosi baik berupa iklan, launching produk, seminar di kalangan medis, dan brosur dan barang promosi lain seperti alat tulis, map, kaos, topi, dll. Kalaupun ada iklan OGB sifatnya massal dan dilakukan oleh pemerintah disebut iklan layanan masyarakat. Biaya yang dikenakan oleh media terhadap pemerintah jauh lebih kecil daripada iklan obat branded yang jumlahnya bisa mencapai miliaran. Jadi sebenarka yang kita beli lebih besar adalah mereknya dibandingkan obatnya. Bukankah dalam pengobatan lebih baik khasiatnya. Jadi buat apa membeli mereknya???
Pertanyaan berikutnya, bukannkah banyak obat tanpa iklan di televisi maupun media massa lainnya yang termasuk paten tetapi harga yang tinggi. Kemanakah biaya promosi tersebut??
Jika anda bekerja dalam apotek rumah sakit ataupun seorang dokter pasti sangat mengetahui hal ini. Obat ethical atau lebih umum dikenal dengan obat yang diberikan dokter berdasarkan resep, tidak boleh dipromosikan secara umum, misal dengan penayangan iklan di media massa, yang bisa dilakukan adalah dengan cara memberikan edukasi tentang profil obat kepada dokter oleh medical representave.
karena tidak boleh mengiklankan diri, maka alokasi biaya promosi obat tersebut diperuntukkan untuk dokter dan apotek. sayangnya biaya promosi yang dikeluarkan terlalu besar jika dibandingkan dengan harga bahan dasar obat tersebut. sebagai perbandingan, jika suatu obat misal harganya Rp.100.000, maka rincian kenapa muncul nominal Rp.100.000 adalah Rp.45000 untuk biaya promosi, Rp.35000 biaya pegawai Rp. 15000 keuntungan ,sedang biaya untuk membeli bahan obat tersebut hanya Rp.5000. Tidak hanya masyarakat awam, banyak tenaga kesehatan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan yang terjangkau masih ragu dengan khasiat OGB. Banyak rekan dokter dan dokter gigi yang sangsi dengan khasiat OGB karena kurangnya informasi yang sampai ke mereka. Faktor lainnya adalah gencarnya para detailer/medrep dari produsen obat branded dengan memberikan “iming-iming”/gimmick menarik jika meresepkan obat dari produsen tersebut. Dokter menerima keuntungan jika menuliskan resep dari produsen obat tertentu. Hal itu juga terjadi pada pegawai apotek. Dalam rincian penghasilan ada yang dinamakan bonus dari resep. Dan jumlahnya pun cukup besar. Setara dengan gaji pokok itu sendiri. jadi bisa dibayangkan bahwa sebenarnya obat obatan yang beredar bisa dibeli dengan harga yang sangat murah.
Jadi berbedakah mutu dan khasiat dari obat generik dan bermerek??
OGB maupun obat paten diproduksi sesuai Standar CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan melalui hasil Uji Bioavailabilitas dan Bioekivalensi. Untuk bisa terdaftar secara resmi, obat generik harus menunjukkan efek setara dengan obat paten yang sudah terdaftar. Produsen harus menunjukkan bahwa bahan aktif yang terkandung dalam obat berada dalam kisaran 80% sampai 120% dari yang terkandung dalam obat paten. Prosedur ini sesuai dengan berbagai kebutuhan obat pasien dan menjamin bahwa terdapat cukup bahan aktif dalam pengobatan untuk memberikan efek terapeutik.
Pada dasarnya sebelum OGB dipasarkan harus dilakukan uji khasiat OGB
- pada sukarelawan sehat di RS (clinical trial fase I), minimal 6 perempuan dan 6 pria dewasa dengan kriteria inklusif yang ketat sebagai probadus. Contohnya probandus harus tidak merokok selama 3 bulan terkahir, kalau bisa yang tidak merokok, tidak mengkonsumsi daging selama seminggu terakhir, tidak mengkonsumsi obat lain 2 minggu sebelumnya.
- Untuk menjadi probandus biasanya diambil dari pedusunan. Para probandus akan diberi informasi sebelumnya, keselamatan diasuransikan, dibayar dan bila sewaktu-waktu merasa tidak nyaman boleh menyatakan berhenti dari trial ini.
- Tes ini harus dilakukan di RS, didukung oleh dokter penanggung jawab yang mampu mengatasi munculnya efek samping, bahkan efek racun obat, dan para peneliti adalah ahli farmakologi biasanya dokter dan apoteker/farmasis.
- Sebelum uji dilakukan, proposal harus dipresentasikan di hadapan komisi etik biomedik penelitian pada manusia di fakultas kedokteran yang ditunjuk Depkes. Begitu pula institusi pemegang lisensi clinical trial ini adalah institusi yang independen dari pabrik obat. Di Indonesia setidaknya terdapat 4 lembaga yang direkomendasikan Depkes untuk uji seperti ini antara lain: Pusat Uji Khasiat Obat (PUKO) FK UI, Bagian Farmakologi dan Pusat Farmakologi Klinik FK UGM, Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik Fakultas Farmasi UGM, dan Bagian Biomedisin Fakultas Farmasi UNAIR.
- Pengujian clinical trial fase I ini harus menyertakan kontrol sebagai perbandingan yakni obat paten yang dinilai telah siap digunakan oleh para klinisi. Contohnya bila akan dilakukan uji ketersediaaan hayati (bioavaibilitas) OGB nifedipin produksi Kimia Farma, maka harus dilakukan uji simultan dengan melakuka desain cross-over dengan Adalat (Bayer, zat khasiat Nifedipin).
- Setelah dillakukan sampling cairan biologis (darah, urin, atau air ludah) dilakukan analisis kadar obat dengan metode yang sesuai misal HPLC karena spesifitas dan sensitivitas yang tinggi. Akhirnya, uji statistik dilakukan untuk mengetahui adalah perbedan yang signifikan antara OGB dengan pembanding (obat paten).
Nah dari pengujian diatas dapat disimpulkan bahwa OGB harus memenuhi standar yaitu:
- Uji Bioavailabilitas/Bioekivalensi (BA/BE).
Obat generik dan obat bermerk yang diregistrasikan ke BPOM harus menunjukkan kesetaraan biologi (BE) dengan obat pembanding inovator. Inovator yang dimaksud adalah obat yang pertama kali dikembangkan dan berhasil muncul di pasaran dengan melalui serangkaian pengujian, termasuk pengujian BA.
Studi BA dan atau BE seharusnya telah dilakukan terhadap semua produk obat yang berada di pasaran baik obat bermerk maupun obat generik. Namun, pemerintah dalam hal ini BPOM masih fokus pada pelaksanaan CPOB
Jaminan kualitas obat generik : Wajib BABE
Uji BA/BE menjadi prasyarat registrasi obat yang telah ditetapkan dalam Peraturan Kepala BPOM-RI. Uji BA/BE diperlukan untuk menjaga keamanan dan mutu obat generik. Dengan demikian, masyarakat terutama klinisi mendapat jaminan obat yang sesuai dengan standar efikasi, keamanan dan mutu yang dibutuhkan. Studi BE memungkinkan untuk membandingkan profil pemaparan sistemik (darah) suatu obat yang memiliki bentuk sediaan yang berbeda-beda (tablet, kapsul, sirup, salep, suppositoria, dan sebagainya), dan diberikan melalui rute pemberian yang berbeda-beda (oral/mulut, rektal/dubur, transdermal/kulit).
- Uji Bioavailabilitas/ketersediaan hayati (BA)
Rate (kecepatan zat aktif dari produk obat yang diserap di dalam tubuh ke sistem peredaran darah) dan extent (besarnya jumlah zat aktif dari produk obat yang dapat masuk ke sistem peredaran darah), sehingga zat aktif/obat tersedia pada tempat kerjanya untuk menimbulkan efek terapi/penyembuhan yang diinginkan.
- Uji Bioekivalensi/kesetaraan biologi (BE)
Tidak adanya perbedaan secara bermakna pada rate dan extent zat aktif dari dua produk obat yang memiliki kesetaraan farmasetik, misalnya antara tablet A yang merupakan produk obat uji dan tablet B yang merupakan produk inovator, sehingga menjadi tersedia pada tempat kerja obat ketika keduanya diberikan dalam dosis zat aktif yang sama dan dalam desain studi yang tepat.
Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes dokter bisa percaya dan berani meresepkan obat generik asalkan ada uji BA/BE yang hasilnya bagus dan dipublikasikan.
Pada obat bermerek dagang memang dilakukan pemillihan bahan pembantu (bahan tambahan yang digunakan untuk membentuk produk obat selain zat aktif) yang spesial dan kemasan produk yang menawan yang menjadikannya terasa istimewa.
Sedangkan pada obat generik dilakukan penekanan biaya produksi untuk penurunan harga produk. Akan tetapi berkat adanya studi BA dan atau BE, obat generik akan memberikan jaminan keamanan dan khasiat pengobatan walaupun kemungkinan adanya perbedaan sifat fisiko kimia zat aktif yang digunakan (bentuk kristal dan ukuran partikel) pada kedua produk obat tersebut
Selain itu untuk memasarkan suatu Obat generik. Produsen harus memenuhi 3 hal
Selain itu untuk memasarkan suatu Obat generik. Produsen harus memenuhi 3 hal
- Obat generik tersebut sudah teregistrasi oleh Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM).
- Sudah memiliki COA (Certificate of Analysis) untuk menjamin kualitas dan kemurnian dari produk obat tersebut.
- Memiliki sertifikat CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik)
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa OGB dan obat bermerek tidak berbeda khasiatnya secara siknifikan. Keduanya memiliki zat aktif yang sama. Dengan dosis yang sama dan telah ditentukan. Keduanya pun telah mengalami proses percobaan klinik maupun pra klinik pada hewan atau probandus. Meskipun bahan tambahan yang berbeda dengan formulasi berbeda, hanya memberikan perbedaan afek yang kecik. Bahkan FDA mengharuskan bedanya tidak lebih dan tidak kurang dari 25%.
Fakta tentang obat generik dan paten (sumber FDA.gov)
FAKTAnya: Penelitian menunjukkan bahwa obat generik sama kerjanya dengan obat bermerek.
Sebuah studi dilakukan dari 38 uji klinis yang dicobakan terhadap obat kardiovaskular dengan nama zat aktif yang sama. Tidak ada bukti bahwa merek obat jantung bermerek bekerja lebih baik daripada obat jantung generik.
FAKTA: FDA tidak mengizinkan perbedaan 45 persen dalam efektivitas produk obat generik.
FDA baru mengevaluasi 2.070 studi manusia yang dilakukan antara 1996 dan 2007. Studi ini membandingkan penyerapan antara obat bermerek dengan obat generik ke dalam tubuh seseorang. Studi ini diserahkan ke FDA untuk mendukung persetujuan obat generik. Perbedaan rata-rata penyerapan ke dalam tubuh antara generik dan nama merek adalah 3,5 persen.Beberapa obat generik diserap sedikit lebih, beberapa sedikit kurang. Ini jumlah perbedaan yang diharapkan dan dapat diterima, baik untuk satu batch nama merek obat diuji terhadap batch lain dari merek yang sama, atau untuk generik diuji terhadap obat bermerek. Bahkan, ada penelitian di mana obat bermerek yang dibandingkan dengan obat bermerek lainnya maupun dengan obat generik. Sebagai aturan,perbedaan perbandingan generik dengan bermerek hampir sama dengan perbandingan obat bermerek dengan obat bermerek. Dengan zat aktif yang sama
FAKTA: Soal perbandingan Harga, ada perbedaan besar antara obat generik dan obat bermerek. Rata-rata, biaya obat generik adalah 80 sampai 85 persen lebih rendah dari produk merek.
Nyatanya pemerintah tetap mengatur besara biaya untuk obat generik. Sehingga selalu dapat dikendalikan
FAKTA: Lebih murah tidak berarti kualitas rendah.
Produsen generik dapat menjual produk mereka untuk harga yang lebih rendah karena mereka tidak diharuskan untuk mengulangi uji klinis dengan biaya mahal untuk obat baru dan umumnya tidak membayar untuk iklan mahal, pemasaran, dan promosi. Selain itu, beberapa perusahaan generik sering disetujui untuk memasarkan satu produk, ini menciptakan kompetisi di pasar, sering mengakibatkan harga yang lebih rendah.
FAKTA: Pemerintah selalu memantau laporan apabila ada kejadian buruk dari obat generik.
Pemantauan efek samping untuk semua produk obat, termasuk obat generik, merupakan salah satu aspek dari FDA dalam upaya menyeluruh untuk mengevaluasi keamanan obat setelah persetujuan. Banyak kali, laporan efek samping menggambarkan reaksi alergi untuk bahan obat aktif.
Laporan dipantau dan diteliti, bila perlu. Penyelidikan dapat menyebabkan perubahan ijin produksi (obat bermerek dan obat generik) jika ditemukan kesalahan.
FAKTA: Pemerintah secara aktif terlibat dalam semua pembuatan produk Obat - termasuk obat generik - agar lebih aman.
FDA menyadari bahwa ada laporan yang menyebutkan bahwa beberapa orang mungkin mengalami efek yang tidak diinginkan ketika berpindah dari obat bermerek ke formulasi obat generik atau dari satu obat generik dengan obat generik lainnya. FDA ingin memahami apa yang mungkin menyebabkan masalah dengan formulasi tertentu. pada kenyataannya, masalah tersebut hanya terkait dengan produk generik tertentu.
Peraturan perundang-undangan mengenai OGB
Beberapa regulasi dari Kementerian Kesehatan semakin membuka kemudahan penggunaan OGB di masyarakat. Seperti dikeluarkannya
- Permenkes HK 02.02/Menkes/068/1/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah serta Kepmenkes HK 03.01/Menkes/159/1/2010 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penggunaan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah Hal ini tentunya memudahkan sosialisasi penggunaan obat generik, baik oleh dokter yang merawat pasien serta pasiennya sendiri.
- Untuk lebih mendukung penggunaan obat esensial generik tersebut beberapa ketentuan lainnya juga dikeluarkan, seperti SK Menkes Nomor 988 Tahun 2004 tentang pencantuman nama generik pada label obat dan SK Menkes Nomor 12 Tahun 2005 tentang harga jual obat generik. Ketentuan tentang produksi obat generik melalui cara pembuatan obat yang baik (CPOB) serta promosi penggunaan obat generik juga telah mendapatkan pengaturan. .
- Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian pada pasal 24 disebutkan pasien yang tidak mampu diberikan obat paten dapat diganti dengan obat generik yang khasiatnya sama. atas persetujuan dokter dan/atau pasien;. Hal yang sama pada HK. 02.02/Menkes/068/I/2010 pada pasal tujuh yang menyebutkan bahwa apoteker dapat mengganti obat merek dagang/paten dengan obat generik yang sama komponen aktifnya dengan persetujuan dokter dan atau pasien.
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, mengatakan dalam upaya mewujudkan standardisasi dan efisiensi pelayanan obat dalam program Jamkesmas, maka seluruh fasilitas kesehatan terutama rumah sakit diwajibkan mengacu pada formularium obat Jamkesmas , di mana obat-obatan dalam formularium ini sebagian besar obat generik.
Kepopularitasan OGB di Indonesia masih dibawa dari harapan pemerintah. dibandingkan dengan negara-negara lain Indonesia masih ada di urutan bawah. Tapi sebenarnya sekarang ini persenase Penjualan Obat generik lebih baik dari tahun 2004 yang hanya 14%
Nah untuk itu, adanya pemasyarakatan OGB sangatlah diperlukan. peranan masing-masing instansi yang terkait sangat diharapkan. untuk itu beberapa hal yang dapat diperhatikan yakni
Peranan Dokter
Mengapa saya menaruh peranan dokter paling atas karena dokterlah yang menulis resep kepada pasiennya. Dalam sebuah penelitian pasien menaruh kepercayaan kepada dokternya mengenai obat yang akan dipilih. Memang ada peraturan yang mengatakan pasien berhak memilih sendiri pengobatannya tetapi bagaimana memilih jika masyarakat saja tidak tahu. Dalam sebuah wawancara dikutip dari kompas, Sekjen Pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia, Slamet Budiarto, (24/6) pada dasarnya Dokter memiliki peranan penting pada peningkatan OGB nasional. Karena dokter yang meresepkan obat generik dan menerangkan kualitas obat geneerik kepada pasiennya.
Dalam praktiknya, dokter baiknya lebih memberikan obat generik pada pasiennya, dan pasien jangan malu menerima obat generik. Mahalnya obat tidak mempengaruhi status strata. Untuk Negara maju saja seperti Amerika Serikat, dikutip dari FDA (di Indonesia seperti Balai POM) hamper 8 dari 10 resep adalah obat generik. Nah padahal penduduknya berpenghasilan tinggi di dunia tetapi tetap mengedepankan obat generik
Untuk saya sendiri, saya memiliki penyakit tahunan sehingga sering ke Rumah sakit. Dalam aplikasinya, telah puluhan kali saya ke rumah sakit hanya satu dokter yang menanyakan kepada saya untuk memilih obat Generik atau paten. Selebihnya lansung menuliskan resep yang umumnya adalah obat paten. Untunglah saat saya telah tahu saya lansung mengatakan ingin obat generik kepada dokternya.
Peranan Apotek
Tidak dapat dipungkiri apotek ingin mendapatkan keuntungan. Dan tentu saja jika dibandingkan obat generik pastinya obat bermerek mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Stok obat generik sepertinya dibatasi di apotek. Kemudian lebih banyak menjual obat bermerek. Banyangkan saja ketika saya sakit, dan ingin menebus obat generik cefadroxil klo tidak salah waktu itu. Saya harus mencari hingga 6 apotek hingga saya menemukan obat tersebut. Tiap apotek menyarankan memenag untuk mengganti dengan yang paten tetapi melihat harganya yang “cetar” hal itu saya urungkan. Harusnya apotek melengkapi dengan obat generik pula.
Dalam sebuah wawancara dikutip dari kompas, Sekjen Pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia, Slamet Budiarto, (24/6), mengatakan ketersediaan obat generik di apotek harus di atas 50 persen. Sementara untuk setiap rumah sakit, minimal harus menyediakan 80 persen obat generik, sehingga ketika dokter meresepkan obat generik, masyarakat dapat dengan mudah mendapatkannya. "Ini juga kesalahan pemerintah yang tak membuat regulasi mengenai ketentuan di apotek, harusnya semua apotek diwajibkan minimal menyediakan obat generik minimal 70 persen. Produsen obat juga harus memproduksi minimal 70 persen obat generik," ujarnya. Slamet juga mengamati bahwa masih banyak apotek yang tidak menyediakan obat generik. Kondisi ini menurutnya harus mendapat perhatian dari pemerintah, mengingat sudah ada Permenkes yang mengatur obat generik. "Apotek harus direformasi. Penyediaan obat generik di apotek cuma 10-20 persen," katanya.
Peranan konsumen
Konsumen harus lebih belajar dan tau mengenai haknya untuk memilih pengobatan. Konsumen harus pro aktif mencari pengetahuan tentang pengobatannya. untuk itu pasien tidak malu untuk meminta dokter memilih obat generik dalam peresepannya.
Masyarakat seharusnya menggunakan haknya untuk meminta untuk mendapatkan resep obat generik dari dokter
-- Sekjen Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto --
Peraturan tentang hak konsumen ini tercantum dalam peraturan pemerintah yakni:
“Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau”. ==UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 5 ayat 2
“Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya”. ==UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 5 ayat 3
“Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak : (c) mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; (d) menolak tindakan medis”. ==UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pasal 52 poin c dan d
Peranan Produsen Obat
Produsen obat seharusnya ikut mengambil bagian dalam mempromosikan Obat generik ini. Seperti yang telah dilakukan oleh PT. DEXA-FARM yang terus berkomitman memasyarakatkan OGB ini. Berita selengkapnya dapat dilihat disini
dengan cara talk show di radio, memberi pengarahan terhadap dokter dan apoteker. Maupun lomba-lomba penulisan OGB.
Produsen Obat generik |
Ketika kita bekerja di apotek, ada hal yang paling menyanyat hati. Yakni ketika ada seorang pasien ingin menebus obat, kemudian kita menyebutkan harganya. Karena obat diresep itu bermerek semua hingga pasien tersebut harus menebus dengan ratusan ribu. Saat disebutkan harganya , pasien hanya terdiam dan berfikir uangnya tidak cukup. Dan dengan wajah sedih pasien pergi tanpa menebus obatnya.
Dan jadi persoalan apakah obat tersebut dapat ditukar dengan generik?
“Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku”. ==Kepmenkes No.1027 Tahun 2004 tentang Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Obat di dalam resep terkadang tidak bisa sepenuhnya dilayani karena berbagai sebab, umumnya yang terjadi adalah :
- Obat tersebut habis/kosong/stok tidak tersedia di sarana pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta dan juga di pasaran, sehingga walaupun diberikan copy resep pun tidak akan berguna.
- Harga obat tersebut tidak terjangkau (kemahalan) oleh pasien tersebut, sehingga pasien memilih untuk menunda menebus obat yang dimaksud.
Selama ini tenaga kesehatan (non-medis) atau masyarakat masih ada yang bertanya – tanya, apakah obat yang tertera dalam resep dokter boleh diganti atau tidak, termasuk mungkin karena terintimidasi tulisan pada sebagian kecil kertas resep seperti “obat jangan diganti atau obat tidak boleh diganti tanpa persetujuan dokter”.
Jawabannya adalah boleh diganti, tetapi sebelumnya ada beberapa ketentuan perundang – undangan berhubungan dengan perihal tersebut yang harus kita ketahui yaitu sebagai berikut
“Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat : (b) mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien”. ==PP No.51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, pasal 24 poin b
“Apoteker dapat mengganti obat merek dagang/obat paten dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien”. ==Permenkes No.HK.02.02/MENKES/068/I/2010 Tahun 2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Milik Pemerintah, pasal 7
“Dokter di Rumah Sakit atau Puskesmas dan Unit Pelaksana Teknis lainnya dapat menyetujui penggantian resep obat generik dengan obat generik bermerek/bermerek dagang dalam hal obat generik tertentu belum tersedia”. ==Permenkes No.HK.02.02/MENKES/068/I/2010 Tahun 2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Milik Pemerintah, pasal 8
Berdasarkan peraturan-peraturan di atas ada 3 unsur utama yang berperan dalam penggantian resep obat yaitu tenaga medis (dokter), tenaga farmasis (apoteker), dan pasien. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan penggantian obat dalam resep diperbolehkan dengan persyaratan sebagai berikut :
Komponen/kandungan/komposisi senyawa aktif dan dosis (kekuatan) obat tersebut harus tetap sama.
Contoh1 (maaf sebelumnya ini bukan promosi produk):
(*) Obat A, bermerek dagang Amoxsan, yang memiliki kandungan/komposisi Amoksisilin dan dosisnya (kekuatan) adalah 500 mg, dengan bentuk sediaan kapsul.
(**) Obat B, bermerek dagang Dexymox, yang memiliki kandungan/komposisi Amoksisilin dan dosisnya (kekuatan) adalah 500 mg, dengan bentuk sediaan tablet.
(***) Obat C, obat generik Amoksisilin dengan dosis (kekuatan) 500 mg dalam bentuk sediaan tablet.
Maka apabila terjadi kekosongan, stok obat tidak tersedia, atau pasien tidak mampu membeli karena mahal, maka sesuai peraturan perudang-undangan di atas, obat A dapat diganti (disubtitusi) dengan obat B atau obat C.
Obat dapat diganti dengan persetujuan Dokter penulis resep.
Apabila terjadi kekosongan, stok obat tidak tersedia atau pasien tidak mampu membeli karena mahal; maka apoteker atau pasien dapat langsung berkonsultasi dengan dokter untuk meminta persetujuan penggantian obat.
Dokter berhak mengganti obat bermerek/obat paten dengan obat bermerek/obat paten lainnya atau dengan obat generik, dan dokter boleh mengganti obat generik (dalam hal formularium) dengan obat bermerek/obat paten dengan mengikuti ketentuan dalam peraturan.
Obat dapat diganti oleh Apoteker dengan persetujuan dokter dan/atau pasien.
Apabila terjadi kekosongan, stok obat tidak tersedia atau pasien tidak mampu membeli karena mahal; maka apoteker berhak mengganti obat setelah mendapat persetujuan dokter dan pasien atau persetujuan dokter saja atau persetujuan pasien saja. Perhatikan frasa “dan/atau” dalam PP No.51 Tahun 2009 tersebut.
Apoteker berhak mengganti obat bermerek/obat paten dengan obat bermerek/obat paten lainnya atau dengan obat generik, namun tidak diperbolehkan mengganti obat generik dengan obat bermerek/obat paten dengan inisiatif sendiri kecuali atas persetujuan dokter dan/atau pasien.
Obat dapat diganti semata-mata atas persetujuan pasien.
Dalam hal terjadi kekosongan, stok obat tidak tersedia atau pasien tidak mampu membeli karena mahal; maka pasien dengan inisiatif sendiri (karena sudah memiliki pengetahuan/pengalaman) atau setelah berkonsultasi dengan dokter saja atau setelah berkonsultasi dengan apoteker saja, berhak meminta penggantian obat dalam resep.
Namun demi terjaganya etika kesehatan dan komunikasi yang baik antara tenaga medis (dokter), tenaga farmasis (apoteker), dan pasien, maka apabila tidak dalam situasi mendesak, penggantian obat sebaiknya setelah melalui proses konsultasi dan persetujuan dokter penulis resep.
Perkembangan dan Masa depan Obat Generik Berlogo
Obat generik telah dimulai pada tahun 1989 hingga sekarang. OGB telah mengalami perkembangan, meskipun target yang diinginkan pemerintah masih belum tercapai. Menurut Maura linda sitanggang., Dirjen Bina Kefarmasian dan Alkes. Pemahaman yang keliru mengenai OGB sebagai obat yang kualitas rendah dan kelas dua. Maupun pemehan obat generik untuk tidak mampu menjadikan OGB masih ada yang sulit diterima oleh masyarakat
Menurut linda (2010), penggunaan obat generik baru mencapai 40 persen dibandingkan Negara maju yang mencapai 80 persen.
Menurut data departemen kesehatan RI, peresepan obat generik oleh rumah sakit umum milik pemerintah pada tahun 2010 baru mencapai 66 persen. Sedangkan di rumah sakit swasta dan apotek baru 49 persen. Ketersediaan obat esensial generik di sarana pelayanan kesehatan baru 69,7 persen dari target 95%
Meskipun demikian perkembangan OGB sekarang ini semakin baik. Dikutip dari tabloid sehat EDISI 011 April - Juni 2011 yang dapat diakses pada dexa-medica.com. Tren peningkatan itu setidaknya tampak dari hasil evaluasi resep OGB di salah satu rumah sakit umum milik pemerintahdi Jakarta, yakni Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun, Jakarta Timur.Direktur RS Persahabatan dr. Priyanti ZSoepandi Sp.P (K) menyatakan, rata-rataresep OGB di rumah sakitnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Hasil evaluasi tahun 2010 misalnya,ratarata penggunaan resep OGB sudah di atas 50 persen. “Resep obat generik untuk rawat inap sudah mencapai sekitar 72 persen, sedangkan pada pasien yang sedang rawat jalan sekitar 56 persen,” ujar Priyanti.
Penggunaan OGB di RS Persahabatan sendiri memperlihatkan peningkatan yang signifikan tiap tahunnya. Melihat pada data peresepan OGB untuk rawat inap, tercatat sebesar 46,27% (2008), 56,65% (2009) dan 72,97% (2010). Kenaikan juga tampak dalam peresepan
OGB untuk layanan rawat jalan, sebesar 45,92% (2009) dan sekitar 56,52% (2010). Pemberian antibiotika generik juga mengalami peningkatan untuk rawat inap, yaitu sebesar 79,96% (2008), 79,13% (2009) dan 82,94% (2010). Sementara pada pasien rawat jalan antibiotika generik digunakan sebesar 56,51% (2009) dan sebesar 56,34% (2010)Untuk mencapai 100% penggunaan OGB di rumah sakit pemerintah memang sebuah tantangan tersendiri. “Soal obat yang diresepkan misalnya, kita juga selalu kembalikan kepada pasien karena itu hak mereka untuk memilih,” ujar dokter spesialis penyakit paru ini.
“OGB kini makin banyak dilirik. Market size-nya akan semakin besar dan semakin dinamis. Buktinya, value dalam pasar obat secara umum dalam setahun bisa mencapai Rp 1 triliun dari total nilai pasar obat sebesar Rp 37 triliun,” ujar-nya.
Untuk kedepannya sendiri, OGB dipastikan akan mengalami peningkatan yang signifikan. Dengan dilaksanakannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di bidang kesehatan yang akan diterapkan pada tahun 2014 mendatang, kebutuhan obat-obatan di Tanah Air, khususnya obat generik, dipastikan bakal meningkat. Penerapan sistem pembiayaan kesehatan dan target cakupan semesta obat oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di bidang kesehatan mulai 1 Januari 2014, membuat target pasar obat publik meningkat hampir tiga kali lipat untuk memenuhi kebutuhan 240 juta penduduk (Kompas, April 2012)
Head of Marketing and Sales OGB Dexa Medica Tarcisius T Randy memperkirakan, penetapan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2014 bisa memicu permintaan terhadap OGB semakin meningkat. Pasalnya, obat yang akan digunakan peserta SJSN obat adalah OGB. Jika total penduduk Indonesia 257 juta jiwa saat ini, baru 137,8 juta jiwa saja yang ter-cover asuransi pada 2013 mendatang. Sedangkan, masih ada 119,2 juta jiwa yang belum terjangkau asuransi kesehatan. Ia menambahkan, peluang pasar OGB akan cukup besar, apalagi ketika SJSN 2014 sudah berlaku, kebutuhannya bisa mencapai Rp 10 triliun. Tak heran, bila tingginya kebutuhan ini akan membuat persaingan industri farmasi di Indonesia bakal semakin ketat karena akan banyak perusahaan yang memproduksi obat generik
Randy menyatakan, tren pasar OGB terutama di Indonesia dari tahun 2009-2011 terus meningkat sebesar 23 persen. Jika dicermati, pertumbuhan RS, khususnya yang menggunakan OGB sangat agresif, mencapai 28 persen. Pertumbuhan pasar farmasi di Indonesia sebagian besar dari kontribusi pertumbuhan OGB. Pertumbuhan pasar OGB lebih tinggi dari pasar farmasi atau pasar obat di Indonesia. “Beberapa rumah sakit swasta juga sudah banyak yang menggunakan OGB. Bahkan, beberapa rumah sakit swasta kelas atas juga sudah menggunakan OGB,” kata randy.
Ia menilai, meningkatnya permintaan OGB di RS swasta lebih ditujukan untuk pasien-pasien kelas tiga. Jika RS swasta tidak menyediakan OGB, biaya perawatannya bisa membengkak. Alhasil, RS swasta bisa kehilangan pasien jika tidak menerima kelas tiga. [Harian Rakyat Merdeka]
Menurut data Kementerian Kesehatan, saat ini ada sekitar 236 industri farmasi yang memenuhi kebutuhan obat di Tanah Air. Nilai pasar farmasi di Indonesia sekitar Rp 44 triliun dengan Rp 4,4 triliun (10 persen) merupakan obat generik. Kebutuhan obat nasional saat ini dipenuhi industri lokal sebesar 90 persen walau sekitar 90 persen bahan baku obat masih diimpor. Sisanya, obat diimpor.
Menghadapi penerapan BPJS kesehatan pada 2012 ini, kata Tarcisius, Dexa Medica telah menyiapkan sejumlah rencana strategis seperti meningkatkan kapasitas produksi dan menyiapkan produk baru. "Kami meningkatkan kapasitas produksi OGB khususnya, dan juga menyiapkan produk produk baru yang menurut perkiraaan kami akan banyak dipergunakan oleh BPJS nantinya," terangnya. Selain itu Dexa Medica juga terus melakukan edukasi dan sosialisasi OGB kepada seluruh masyarakat untuk meyakinkan bahwa kualitas OGB terjamin, produknya lengkap dan harganya terjangkau.
"Tujuan utama kami adalah mendukung program pemerintah agar program pemerintah ini dapat terlaksana dengan baik dan seluruh masyarakat tidak khawatir lagi menggunakan OGB terutama OGBdexa karena masyarakat benar benar sudah mengetahui dan percaya dengan Obat Generik berlogo," tandasnya.
Dengan memilih Obat Generik. Keluarga sehat dan hemat
Untuk informasi kunjungi Dexa-medica
Popular posts
-
Jaman dahulu, untuk merancang warna sebuah rumah harus menyewa jasa seorang arsitek. Bahkan dibutuhkan pula ahli fengsui untuk...
-
Penulis: Hidayat Hasim Mahasiswa Semester akhir fakultas Farmasi Unhas Obat di Negara Indonesia masih tergolong mahal di asia ten...
-
Timbulnya penyakit pada umumnya disebakan karena peredaran darah yang tidak lancar. Pembuluh darah yag menyempit adalah salah satu penyebab...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanis merupakan senyawa kimia yang sering ditambahkan dan digunakan untuk keperluan ...
-
berikut daftar lagu-lagu yang menurut admin aneh dan unik untuk didengar. banyak dari lagu tersebut yang artisnya nya tidak diketahui oleh...
lengakap juga yah mas
:)